FIQH MENGINGKARI KEMUNKARAN [Hadits dan Pemahamannya]

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawy

Mengingkari kemunkaran merupakan kewajiban agama dan ibadah yang sangat utama. Namun, harus diketahui bahwa pengingkaran memiliki etika dan kaidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah karena beliau adalah seorang yang paling mengerti tentang metode dakwah yang terbaik. Mungkinkah Nabi Muhammad mengajarkan kepada umatnya tata cara buang air besar , lalu melupakan untuk mengajarkan mereka tata cara mengingkari kemunkaran?!!

Kita beralih kepada masalah yang aktual sekarang. Aksi-aksi anarkis dan kekerasan banyak terjadi di Pandeglang, Cikasik, Temanggung, dan lainnya karena perbedaan paham agama. Sampai-sampai ada keinginan dari pemerintah untuk membubarkan ormas Islam yang dianggap bermasalah. Semua itu dikarenakan ulah sebagin kalangan yang keliru dalam memahami metode ‘mengingkari kemunkaran’ sehingga inginnya untuk merubah kemunkaran, tetapi malah memperbesar kemunkaran.


رام نفعا فضر من غير قصد
ومن البر ما يكون عقوقا
Maksud hati ingin raih kebaikan, namun tanpa sengaja justru menimbulkan kerusakan
Sesungguhnya di antara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan

Oleh karenanya, melalui rubrik hadits ini kami ingin mengkaji salah satu hadits Nabi yang bisa kita jadikan dalil tentang masalah ini.

TEKS HADITS

عن أنس رضي الله عنه ، قال : بينما نحن في المسجد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، إذ جاء أعرابي ، فقام يبول في المسجد . فقال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم : مه مه . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا تزرموه ، دعوه " . فتركوه حتى بال ، ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم دعاه ، فقال له : " إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول والقذر ، إنما لذكر الله ، والصلاة ، وقراءة القرآن ) . أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم . قال : وأمر رجلا من القوم فجاء بدلو من ماء

Dari Anas bin Malik, berkata, “Ketika kami sedang di masjid bersama Rasulullah, tiba-tiba datang seorang Arab badui lalu berdiri untuk kencing di masjid. Para sahabat Rasul menghardiknya, tetapi Rasulullah bersabda, ‘Janganlah kalian memutusnya, biarlah dia selesai kencing dahulu.’ Maka mereka membiarkan orang tersebut kencing hingga selesai. Setelah itu Rasulullah menasihatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak boleh digunakan untuk kotoran dan kencing. Masjid adalah tempat untuk dzikir, sholat, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana disabdakan Nabi yang sesuai. Setelah itu, Nabi memerintah seseorang untuk mengambil satu ember air dan menyiramnya.’ [H.R. Bukhari: 219 dan Muslim:284]

FIQH HADITS

Hadits ini memuat banyak sekali mutiara faedah yang terkandung di dalamnya. Di antaranya yang menjadi inti pembahasan kita adalah metode mengingkari kemunkaran yaitu tidak boleh mengingkari kemunkaran jika malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Perhatikanlah hadits ini baik-baik, ketika para sahabat hendak mengingkari orang badui yang kencing di masjid tersebut, Nabi menahan mereka karena apabila hal itu diteruskan maka akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar, di antaranya:

Pertama: Akan membahayakan orang tersebut karena memberhentikan seorang yang tengah kencing adalah berbahaya dan menyakitkan.

Kedua: Seandainya dibiarkan terlebih dahulu maka ia akan menumpahkan najis pada bagian kecil dari masjid, tetapi kalau saja ia ditegur di tengah-tengah kencing niscaya air kencing akan mengena pada badan dan pakaiannya serta malah melebar ke bagian masjid lainnya. [Syarh Sohiih Muslim karya An-Nawawi: 1/191]

Kita tidak boleh mengingkari kemunkaran dengan kemunkaran juga. Kita harus memperhatikan antara maslahat dan mafsadatnya. Apakah kita akan mengingkari suatu kemunkaran dengan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar darinya?! Semoga Allah merahmati al-Imam Hasan al-Bashri tatkala melihat seorang Khawarij yang keluar untuk mengingkari kemunkaran, beliau berkata: “Si miskin itu melihat kemunkaran dan ingin mengingkarinya tetapi malah jatuh pada kemunkaran yang lebih munkar darinya.” [Asy-Syari’ah karya al-Ajurri: 1/145]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pernah dikatakan, ‘Hendaknya perintahmu kepada kebaikan dengan cara yang baik dan laranganmu dari kemunkaran bukan suatu kemunkaran.’ Kalau amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban dan sunnah yang agung, maka hendaknya maslahatnya lebih besar daripada kerusakannya.” [Al-Amru bil Ma’ruuf wan Nahyu ‘anil Munkar: 19]

Sumber: Majalah Al-Furqan, Edisi Maret 2011, hal 7-8


0 komentar to "FIQH MENGINGKARI KEMUNKARAN [Hadits dan Pemahamannya]"

Posting Komentar

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.