JANGAN MEMPERBESAR KEMUNKARAN

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawy


Perlu diketahui bahwa syariat yang suci dan mudah ini dibangun di atas kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Barangsiapa yang meneliti sikap para nabi alaihimush sholaatu wassalam dan kisah-kisah mereka yang diceritakan dalam al-Qur’an, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin tanpa ada sedikit pun keraguan. Hal ini dipraktekkan oleh Nabi Muhammad sebagaimana diketahui oleh seorang yang memiliki pengetahuan tentang syariat sekalipun hanya sedikit. Di antaranya, Nabi tidak membunuh kaum munafik. Dalam banyak kejadian, telah nyata bagi Rasulullah kemunafikan beberapa orang yang seharusnya mereka mendapatkan hukuman setimpal untuk dibunuh, tetapi Nabi tidak melakukannya, bahkan bersabda:

لا يتحدث الناس أن محمدا يقتل أصحابه
“Jangan sampai manusia bercerita bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.” [H.R. al-Bukhari: 4542 dan Muslim: 4682]


Dalam hadits ini Nabi menjelaskan bahwa beliau tidak menghukum dan membunuh orang-orang munafik untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan menolak kerusakan yang lebih besar. Sebab, apabila tersebar bahwa Nabi membunuh mereka tanpa diketahui sebabnya yang jelas oleh manusia umum, maka hal tersebut akan membuat orang-orang kafir lari dari agama Islam. [Adab Tholab wa Muntaha Arob karya Asy-Syaukaani: 159]

Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa tidak boleh mengingkari suatu kemunkaran apabila malah mendatangkan kemunkaran yang lebih besar.

Alangkah bagusnya ucapan al-Imam Ibnul Qoyyim tatkala berkata: “Sesungguhnya Nabi mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemunkaran agar terwujudnkan kebaikan yang dicintai oleh Allah dan Rasulnya. Namun, apabila mengingkari kemunkaran mengharuskan munculnya kerusakan yang lebih besar maka tidak boleh mengingkarinya sekalipun perbuatan dan pelakunya tersebut dibenci oleh Allah, seperti mengingkari para pemimpin dengan memberontak, karena ini adalah sumber segala kerusakan dan fitnah sepanjang zaman.” [Termasuk dalam hal ini adalah aksi-aksi demonstrasi untuk menumbangkan pemimpin yang marak akhir-akhir ini. Sejarah menjadi saksi bahwa tidaklah hal itu membawa kebaikan tetapi justru memperburuk keadaan. Hanya kepada Allah kita memohon agar melindungi kita semua dari kejahatan fitnah]

Lanjutnya, “Barangsiapa yang mencermati kecamuknya berbagai fitnah yang berbentuk kecil maupun besar di dunia Islam, niscaya dia akan mengetahui bahwa faktor penyebabnya adalah melalaikan kaidah ini dan tidak sabar dalam menghadapi kemunkaran lalu ingin mengubahnya tetapi malah membawa kerusakan yang lebih besar darinya.” [I’laamul Muwaqqi’iin: 4/338-339]

Sungguh ini adalah ucapan berharga yang sepantatnya dicatat dengan tinta emas. Camkanlah kaidah ini baik-baik karena melalaikannya telah membuat mayoritas orang terpeleset dalam fitnah kerusakan. Adakah di antara kita yang mau memperhatikannya dan memetik pelajaran darinya?! Ya Allah, jauhkanlah kami dari fitnah.

Al-Hafidz Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah melanjutkan, “Mengingkari kemunkaran memiliki empat tingkatan: [1] Apabila kemunkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknya. [2] Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya. [3] Apabila berganti dengan kemunkaran semisalnya. [4] Apabila berganti kepada yang lebih buruk darinya.

Tingkatan pertama dan kedua disyariatkan, tingkatan ketiga perlu dipertimbangkan, dan tingkatan keempat hukumnya hara. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama kawanku pernah melewati orang-orang yang asyik meminum khamr. Seorang kawan mengingkari mereka namun aku menegurnya seraya kukatakan padanya: Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr karena menghalangi manusia dari mengingat Allah dan mengingat sholat, dan apabila  mereka minum khamr maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak, dan merampok harta, jadi biarkan saja mereka.’” [I’laamul Muwaqqi’iin: 4/339-340]

Kita berpindah kepada Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, sebagaimana dimaklumi bersama bahwa beliau berpendapat haramnya rokok, bahkan menulis risalah khusus tentang haramnya rokok.

Namun, ketika beliau bepergian jauh dengan mobil yang sopirnya adalah perokok, maka beliau memberikan kesempatan waktu istirahat untuk merokok. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Para sopir itu adalah pecandu rokok. Bila mereka tidak merokok, maka kepala mereka akan pusing dan mungkin bisa ngawur menyetir sehingga membahayakan penumpang.” [Mawaaqif Ijtimaa’iyyah min Hayaati Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di: 135-136]

Demikian juga, suatu saat ada penjual kayu bakar pernah menaruk kayu bakar di rumah beliau dan bungkus rokoknya tertinggal, maka Syaikh as-Sa’di memanggil dan mengembalikan rokoknya. Ketika penjual tadi menanyakan mengapa beliau mengembalikan nya padahal itu adalah rokok, beliau menjawab, “Karena jika kamu kehilangan rokok ini, nanti kamu akan membeli baru lagi sebagai penggantinya dengan menggunakan uang hasil jual kayu tadi, padahal itu sebenarnya adalah jatah untuk makan kelaurgamu.” Akhirnya penjual itu mengambil rokok tersebut kemudian membuangnya seraya mengatakan, “Ya Allah, sekarang saya bertaubat dari rokok dan tidak akan menghisapnya lagi.” [Mawaaqif Ijtimaa’iyyah min Hayaati Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di: 69]

Demikianlah ketajaman ilmu para ulama yang mengetahui fiqh metode mengingkari kemungkaran. Semoga Allah merahmati mereka semua dan menjadikan kita seperti mereka.

PENUTUP

Sehubungan dengan masalah yang menghangat sekarang ini di publik dan media seiring dengan sering terjadinya  tindakan kekerasan karena perbedaan paham agama, maka kami menjelaskan:

  1.  Kepada pemerintah dan jajarannya untuk bertindak tegas terhadap aliran-aliran yang telah terbukti sesat dan menyesatkan serta menodai agama Islam seperti kelompok Ahmadiyyah, sebab kekurangtegasan pemerintah dalam menyikapi masalah ini terkadang menjadi faktor utama terjadinya kerusuhan. Kewajiban utama hanyalah menjelaskan dan menasihati, sedangkan pembubaran maka itu bukanlah wewenang mereka. Sungguh merupakan kesalahan, opini sebagian kalangan bahwa jadinya kerusuhan tersebut adalah disebabkan fatwa MUI tentang kafirnya Ahmadiyyah. Ini sama sekali tidak benar, sebab fatwa tersebut adalah benar, tetapi yang salah adalah tindakan anarkis sebagian masyarakat yang itu tidak diinginkan sama sekali oleh MUI. Jadi, jangan dicampuradukkan antara keduanya.
  2. Kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri-sendiri, tetapi hendaknya mereka menyerahkan hukum untuk ditangani oleh pemerintah yang berwenang sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk tetap tegar di atas agama-Nya. Amin

Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi Maret 2011: hal. 8-9


0 komentar to "JANGAN MEMPERBESAR KEMUNKARAN"

Posting Komentar

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.